Kauman adalah nama sebuah kampung
di kecamatan Gondomanan, kotamadya Yogyakarta. Letaknya di sebelah barat
alun-alun utara dengan luas kurang lebih 192.000 meter persegi. Kampung ini
memiliki ciri khusus, karena masyarakat yang mendiami wilayah ini masih
memiliki pertalian darah antara satu dengan yang lainnya. Hal inilah yang
kemudian menjadikan masyarakat Kauman sebelum tahun 1912 cenderung menjadi
masyarakat yang pekat dan tertutup.Kesultanan
Yogyakarta tidak bisa dipisahkan dengan awal lahirnya kampung Kauman, karena
memang kampung ini merupakan bagian dari birokrasi Kerajaan. Masyarakat Kauman terbentuk dari beberapa keluarga abdi dalem
yang oleh Sultan diberi tempat tinggal di sekitar Masjid Agung. Tugas para abdi
dalem itu adalah sebagai pengurus masjid. Masyarakat Kauman memiliki status
sosial dan kepemimpinan dalam bidang agama yang lebih menonjol daripada
masyarakat di kampung-kampung lain, sehingga masyarakat Kauman menjadi
masyarakat yang superior. Dalam perkembangannya, Kauman kemudian menjadi basis
organisasi Muhammadiyah (basis lainnya di Kotagede dan Karangajen).
Pergerakan-pergerakan sosial lainnya yang berdiri di Kauman adalah Aisiyah,
Ar-Rosyad, Jogjaning Olah Rogo dan MUAPS yang semuanya memiliki pengaruh
besar terhadap perubahan sosial.
Pada masa sebelum abad 20,
masyarakat Kauman menjalankan agama Islam secara tradisional. Selain itu,
mereka juga menjalankan agama secara sinkretis yaitu mencampuradukkan upacara
Islam dengan kepercayaan di luar itu misalnya selamatan untuk siklus kehidupan,
membakar kemenyan dan sebagainya. Pola pendidikan yang dianut adalah pesantren
yang hanya mempelajari ilmu Islam dan sebagian besar santri berasal dari Kauman
untuk selanjutnya dipersiapkan menjadi abdi dalem. Pekerjaan masyarakatnya
adalah sebagai abdi dalem dan mengandalkan hasil dari tanah pelungguh yang
diberikan oleh sultan dan ada juga yang bermata pencaharian sampingan sebagai
pengrajin batik. Dalam bidang kepemimpinan, baik formal maupun informal
semuanya ada pada kuasa penghulu.
Sebagai kampung santri tertua di Kotamadya
Yogyakarta, Kauman memiliki sejarah cukup panjang tentang pergerakan sosial,
antara lain Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Sebagai gerakan yang mengusung
purifikasi ajaran Islam dan gerakan modernisasi pemikiran, Muhammadiyah membawa
perubahan yang signifikan pada pola hidup dan perilaku masyarakat. Disamping
itu ‘Aisyiyah sebagai salah satu gerakan sosial kewanitaan di Indonesia juga
turut berperan dalam mewujudkan konsep wanita yang bukan hanya sebagai konco
wingking[i]
saja, tetapi juga sebagai pelaku utama dalam pemberdayaan masyarakat. Perubahan
paradigma dan sosial ini menjadikan kehidupan sosial masyarakat Kauman. Kauman
Yogyakarta biasanya ditampakkan sebagai suatu hunian tradisional yang memiliki
latar belakang kultur dan reliji yang kuat, dan hingga kini masih bertahan di
pusat kota Yogyakarta.
Warga Kauman Yogyakarta dalam mengalami
ruang peninggalan masa lalu memunculkan dua makna. Pertama bahwa ruang dari
masa lalu merupakan ‘Ruang yang Perlu Dilestarikan’ karena ruang-ruang ini
mengandung emosi, membangkitkan sentimen, dan mempunyai makna yang dalam bagi
warga permukiman. Ruang-ruang ini perlu dilestarikan, dipanjangkan umurnya,
agar para warga dapat mengenang, menceriterakan kembalidan mengambil pelajaran
dari obyek dan atau peristiwa yang terdapat di dalam ruang dan bangunan
tersebut. Makna kedua adalah ‘Ruang Masa Lalu yang Masih Bertahan’, yaitu ruang
dan bangunan peninggalan masa lalu masih tetap ada dan hadir di permukiman
Kauman Yogyakarta namun dengan intensitas kegiatan yang kecil dan perannya di
permukiman sudah menurun.(Suastiwi,2012)
|
|
|
Halaman Masjid Gedhe Kauman masih digunakan
sebgai tempat berkumpul bagi para warga dan juga wisatawan yang berkunjung ke
kampung Kauman. Putera-putera Kauman menjadi motor di pasukan Hizbullah
Sabilillah, dan kemudian dari Kauman pula didirikan Markas Ulama Asykar Perang
Sabil (MU- APS) yang pusatnya di Gedung Pejagan Plataran masjid Gedhe.
Pasukan-pasukan yang dimotori oleh putera-putera Kauman ini ikut perang gerilya
membantu TNI sampai ke Semarang, Ambarawa, Kedu, dan Kebumen. Dalam peristiwa
Kotabaru, Plataran Masjid Gedhe juga digunakan menyusun kekuatan untuk
penyerbuan, putera-putera Kauman pun ikut aktif dan juga ada yang menjadi
korban sebagai pahlawan. Plataran Masjid Gedhe Kauman pun dipakai juga untuk
menyusun kekuatan dalam rangka penumpasan pemberontakan PKI (18 September 1948,
pusatnya di Madiun); dan juga Demonstrasi Pembubaran PKI tahun 1965 karena
pemberontakan G-30S/PKI, dari tuntutan Demonstrasi Generasi Muda Islam (GEMUIS)
Jogjakarta, maka PKI dibekukan di Jogjakarta (tindakan ini pertama kali untuk
seluruh Indonesia). Plataran Masjid Gedhe dikenal sebagai ajang perjuangan
umat. Angkatan 1966 (KAMI –KAPPI-KAWI-KASI) bila bila demonstrasi berangkatnya
dari plataran Masjid Gedhe. Demonstrasi untuk Reformasi dan menurunkan rezim
Soeharto salah satu tempat konsentrasinya adalah plataran Masjid Gedhe
Jogjakarta, dan warga Kauman pun ikut berpartisipasi baik tenaga maupun
logistiknya.(Adaby Darban:2009)
Langgar Dhuwur dan Pendopo Tabligh yang ada
di sebelahnya dahulu adalah saksi dimana Kyai Faqih (salah satu Kyai yang tidak
sependapat dengan pandangan ber Islam nya Kyai Dahlan) tinggal. Meskipun
demikian beliau berteman akrab dengn Kyai Dahlan, hal ini terbukti dengan
dijadikannya Pendopo Tabligh sebagai tempat diikrarkannya Muhammadiyah untuk
pertama kalinya.
Kauman sebagai desa santri berhasil menarik
perhatian masyarakat dan pemerintah Hindia Belanda ketika organisasi
Muhammadiyah lahir di tahun 1912. (Abdurrahman Surjomihardjo, 2008). Pasca tahun 1912, muhammadiyah merubah paradigma
sosial kebudayaan, terutama peran serta wanita tradisional jawa untuk
meningkatkan kapasitas mereka di bidang pendidikan dan peran serta wanita bidang agama, sosial dan budaya. Dan hal ini
terlihat bahwa Profesor wanita pertama Indonesia lahir di kampung ini (Prof.
Siti Baroroh). Tahun 1917, Aisyiyah
(salah satu oraganisasi gerakan wanita terbesar di Indonesia) lahir di kampung
ini, pada tahun 1919, dua tahun setelah berdiri, 'Aisyiyah
merintis pendidikan dini untuk anak-anak dengan nama FROBEL, yang merupakan
Taman Kanan-Kanak pertama kali yang didirikan oleh bangsa Indonesia.
Selanjutnya Taman kanak-kanak ini diseragamkan namanya menjadi TK 'Aisyiyah
Bustanul Athfal yang saat ini telah mencapai 5.865 TK di seluruh Indonesia.
Jejak sejarah berupa bangunan masih bisa kita liat hingga sekarang.
Berjalan masuk kampung ini kita akan
melihat beberapa bangunan tua berjajaran, antara lain terdapat rumah-rumah Juragan
Batik diantara yang masih ada yaitu milik Haji Moeh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar